BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyuluhan Pertanian adalah suatu upaya
untuk terciptanya iklim yang kondusif guna membantu petani beserta keluarga
agar dapat berkembang menjadi dinamis serta mampun untuk memperbaiki kehidupan
dan penhidupannya dengan kekuatan sendiri dan pada akhirnya mampu menolong
dirinya sendiri . Selanjutkan dikatakan oleh Salim,F. , Bahwa penyuluhan
pertanian
adalah upaya
pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis
melalui kegiatan pendidikan non formal dibidang pertanian ,agar mampu menolong
dirinya sendiri baik dibidang ekonomi, social maupun politik, sehingga
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai.Pengertian
penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu social yang mempelajari system dan
proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan
yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan.
1.2 Rumusan Masalah
a. Sejarah
penyuluhan pertanian
b. Pengertian
penyuluhan pertanian
1.3
Manfaat
Agar mahasiswa lebih
mengetahui atau dapat mengerti tentang penyuluhan pertanian dan juga dapat
mengetahui sejarah penyuluhan itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian adalah suatu upaya untuk
terciptanya iklim yang kondusif guna membantu petani beserta keluarga agar
dapat berkembang menjadi dinamis serta mampu untuk memperbaiki kehidupan dan
penghidupannya dengan kekuatan sendiri dan pada akhirnya mampu menolong dirinya
sendiri ( Soeharto, N.P.2005). Selanjutkan dikatakan oleh Salim,F. (2005),
Bahwa penyuluhan pertanian adalah upaya pemberdayaan petani dan keluarganya
beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal
dibidang pertanian ,agar mampu menolong dirinya sendiri baik dibidang ekonomi,
social maupun politik, sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
mereka dapat dicapai.Pengertian penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu social
yang mempelajari system dan proses perubahan pada individu serta masyarakat
agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan.
Penyuluhan
dapat dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan untuk orang dewasa. Dalam
bukunya A.W. van den Ban dkk. (1999) dituliskan bahwa penyuluhan merupakan
keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan
tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bias membuat keputusan
yang benar, Selanjutnya dalam draf Repitalisasi Penyuluhan disebutkan bahwa
penyuluhan pertanian adalah kegiatan pendidikan non formal bagi petani dan
keluarganya sebagai wujud jaminan pemerintah atas hak petani untuk mendapatkan
pendidikan. Lebih lengkap lagi dijelaskan dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian , Perikanan dan Kehutanan ( SP3K), bahwa
pengertian penyuluhan adalah: proses pembelajaran bagi pelaku utama serta
pelaku usaha agar mau dan mampu menolong dan mengorganesasikan dalam mengakses
informasi informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan
kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penyuluhan pertanian adalah kegiatan pendidikan non formal bagi pelaku
utama dan pelaku usaha sebagai jaminan atas hak mendapatkan pendidikan, yang
diharapkan mampu memanfaatkan sumber daya yang ada guna memperbaiki dan
meningkatkan pendapatan kelayan beserta keluarganya dan lebih luas lagi dapat
meningkatkan kesejahteraanya.
2.2 Sejarah penyuluhan pertanian
2.2.1
Penyuluhan pada Zaman Belanda (1905-1942)
Penyuluhan pertanian di Indonesia telah
dimulai sejak tanggal 17-5-1817, ketika Dr. CGL Reinwardt, mendirikan Kebun
Raya Bogor dan memperkenalkan 50 jenis tanaman baru, antara lain: kelapa sawit,
ketela pohon, dll. Pada tahun 1831, dilaksanakan Sistem Tanam Paksa
(cultuurstelsel) yang memaksa pribumi menanam nila/tarum, kopi, gula dan
tembakau. Selanjutnya Direktur ke III Kebun Raya Bogor, Dr. R.H.C.C. Scheffer,
tahun 1876, mendirikan Kebun Tanaman Dagang (Cultuurtuin) seluas 75 ha (bagian
Kebun Raya Bogor) di Desa Cikeumeuh,dan menyebarkan ke seluruh pelosok
Indonesia tanaman perkebunan dan tanaman makanan, seperti karet, serat
(roselia, rami, dll), berbagai jenis padi, kacang tanah, kedelai ,jagung ,ubijalard
anketela pohon.
tahun
1877, Scheffer mendirikan Sekolah Pertanian di Kebun Raya. Tahun 1884 Sekolah
Pertanian di Kebun Raya ditutup, karena kekurangan dana, kurang perhatian dan
kurang dukungan politis. Tahun 1903, Direktur ke V Kebun Raya Bogor, Dr.
Melchior Treub, mendirikan Sekolah Pertanian, yang selanjutnya berkembang
menjadi Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), lulusannya banyak menjadi
penyuluh pertanian, pegawai kehutanan dan sinder perkebunan.
Satu Januari 1905 Pemerintah Kolonial Belanda
mendirikan Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan (Landbouw Nijverheid
en Handel) atas usul Melchior Treub. Tugasnya antara lain melakukan penyuluhan
yang dilaksanakan melalui Pangreh Praja, dan mendasarkan
kegiatannyaatasperintah-perintahkepada petani.
Tahun
1908, diangkat lima orang penasehat pertanian (Landbouw Adviseur) dan
beberapa pembantunya (Asisten Landbouw Adviseur) sebagai pegawai
Departemen Pertanian, yang diperbantukan kepada Pangreh Praja setempat.
Tugasnya memberi nasehat pertanian dan menyelenggarakan pendidikan pertanian
kepada petani. Mereka merupakan perintis pendidikan pertanian, yang berkembang
menjadi penyuluh pertanian yang tidak berdasarkan atas perintah-perintah.
Tahun
1910, didirikan Dinas Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichtings Dienst-LDV) dalam
Departemen Pertanian. Di daerah merupakan bagian dari Pangreh Praja.
Petugas-petugas penasehat pertanian (1908) diganti sebutannya menjadi Landbouw
Consulen dan Adjunct Landbouw Consulent. Mereka bisa berhubungan langsung
dengan petani atas dasar pendidikan dan kesukarelaan.ahun 1921, LDV dilepas dari Pangreh
Praja dan dijadikan Dinas Daerah Provinsi, karena hasil nyata yang dicapainya.
Sejak itu petugas-petugas Dinas Penyuluhan berdiri sendiri dan bertanggung
jawab kepada Departemen Pertanian, disamping tetap bertindak sebagai penasehat
Pangreh Praja. LDV menangani penyuluhan tanaman pangan dan perkebunan, dan ikut
dalam bidang perkreditan.
Pada
periode 1921-1942, Dinas Penyuluhan terus berkembang sampai datang tentera
Jepang. Penyuluh pribuminya berasal dari lulusan Meddlebare Landbouw
School/MLS (SPMA) Bogor, Cultuur School/CS (SPMP/Sekolah Pertanian
Menengah Pertama) Sukabumi dan Malang.
Hasil
penyuluhan yang menonjol selama masa penjajahan Belanda berupa:
1. Modernisasi usahatani berdasarkan
hasil penelitian, terutama pengolahan tanah, pengairan, pemupukan (hijau,
kompos dan an-organik), pemakaian varietas/benih unggul,dan pemberantasan hama
penyakit. Waktu itu sudah ada Panca Usaha padi, palawija,sayuran dan
buah-buahan. Tahun 1940, tiga puluh persen luas sawah sudah ditanami varietas
unggul padi Cina, Latisail, Skrivimangkoti, Untung, Baok, Genjah Raci, dari
Algemeen Proefstasion van de landbouw/APL (Lembaga Pusat Penelitian
Pertanian) Bogor.
2. Hama sundep dan beluk dapat
dikendalikan di Karawang sampai Pekalongan (berdasarkan hasil penelitian
Dr.P.Van der Goot dan kawan-kawannya). Hama tikus yang mengganas, dapat
dikekang setelah diketahui siklus hidupnya.
3. Pupuk hijau mulai meluas digunakan
di persawahan dan di perkebunan. Jenis Crotalaria, Centrosema, Lamtoro dan
lain-lain mulai banyak diusahakan, sementara kompos mulai dikenal.
4. Penyempurnaan alat-alat pertanian
dengan introduksi dari hasil penelitian, seperti bajak Muara dan Kerorejo, garu
Madura, penyiang Muara, penyiang Landak (tunggal dan ganda), parut rotasi untuk
bikin tapioka, dll.
5. Perbaikan pekarangan dengan menanam
sayur, buah, bunga dan tanaman obat, menjadi lebih cantik, bersih, berfaedah
dan menguntungkan.
6. Pendirian 200 buah Balai Benih dan
Kebun Bibit di seluruh kepulauan untuk menangkar benih/bibit unggul padi,
palawija, sayuran, bunga, buah, tanaman keras (karet, cengkeh, randu, kopi,
teh, tembakau, kelapa, dll).
7. Pengembangan pendidikan pertanian
melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan pemuda (kelas masyarakat
Sekolah Desa 5 tahun) yang dirintis tahun 1910 dikembangkan menjadi 6 tahun,
kelas pertanian untuk daerah pedesaan, kelas perdagangan/ perkantoran untuk
daerah kota, dan kelas kerajinan/pertukangan untuk daerah yang banyak
industrinya. Kelas ini bertambah banyak tahun 1930-an, terutama sesudah ada
pendidikan guru kelasmasyarakat di Sekolah Normal (Sekolah Guru Desa).
8. Tahun 1939 ada 139 kelas pertanian.
Pendidikan pertanian yang dilaksanakan dalam bentuk sekolah adalah MLS Bogor,
CS di Sukabumi dan Malang (di Malang namanya Landbouw School/LS setara
SMP). Pendidikan pertanian non formal dalam bentuk latihan dan kursus untuk
calon dan yang sudah jadi pegawai serta untuk masyarakat tani (bapak, ibu dan
anak tani), disebut penyuluhan pertanian. Bagi calon dan pegawai rendahan,
tersedia sekolah atau kursus mantri, kursus guru pertanian, sekolah usahatani,
kursus aplikasi untuk mantri pertanian.
9. Tahun 1927 dibuka Kursus Tani Desa
(KTD) bagi wargatani di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. KTD diteruskan
dengan bimbingan lanjutan, seperti demonstrasi (percontohan cara dan hasil),
perlombaan, ekskursi (wisata karya atau widya dicampur rekreasi). Dibentuk
kelompok tani, yang disebut Rukun Tani (Jawa Barat), Kring Tani (Jawa Timur)
dan nama setempat lainnya. Diadakan pula kursus bagi wanita tani dan anak
tani/pemuda tani, 1 s.d 4 tahun, kurikulum menyeluruh dan waktu pelajarannya 2
hari 2 atau 3 jam per minggu.
10. Dikumpulkan informasi mengenai
ekonomi pedesaan, seperti analisa usaha tani (landbouwbedrijfs ontledingen
di daerah tertentu), statistik pertanian, analisa dan nasehat niaga hasil bumi,
perkreditan dan pembebanan hutang (schuldbevrijding) dari cengkraman
pengijon, lintah darat, dll.
11. Dikumpulkan data kebutuhan air pada
setiap jenis tanah dan tanaman, kandungan air sungai, pengujian untung-rugi di
daerah pengairan, dan saran pemakaian air pada daerah rawan (kebun tebu,
tembakau dan serat), dll.
2.2.2. Penyuluhan pada Zaman Jepang (1942–1945)
Penyuluhan
pada masa pendudukan Jepang dapat dikatakan tidak ada. Para petani dipaksa
untuk mengusahakan/memproduksi bahan makanan dan bahan strategis lainnya. Son
Sidoing (Mantri Pertanian Kecamatan) dan Nogyo Kumiai (Koperasi
Pertanian di setiap kecamatan) ditugaskan memperlancar usaha produksi dan
mengumpulkan hasilnya bagi keperluan angkatan perang Jepang.
2.2.3 Penyuluhan pada
Zaman Kemerdekaan (1945–1995)
A. Periode Liberal (1945 – 1959)
Pada periode 1945–1950, pengembangan
pertanian dimulai dengan Rencana (Plan) Kasimo, yaitu rencana produksi
pertanian 3 tahun (1948–1950). Tidak terlaksana sepenuhnya karena revolusi
fisik. Pada periode 1950–1959, pemerintah memulai usaha pembangunan pertanian
lebih sistematis, rencana Kasimo yang belum terlaksana sepenuhnya digabung
dengan Rencana Wisaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI) tahap
ke-1 tahun 1950–1955 dan tahap ke-2 tahun 1955–1960.
Untuk menunjang program tersebut
dilaksanakan:
1. Perbanyakan benih unggul padi dan
palawija dengan memperluas dan menambah jumlah Balai Benih dan Kebun Bibit.
2. Perbaikan dan perluasan pengairan
pedesaan.
3. Peningkatan penggunaan pupuk untuk
segala jenis tanaman, terutama pupuk phospat dan nitrogen pada padi.
4. Peningkatan pemberantasan hama
penyakit tanaman serta memperlancar penyaluran pestisida dan peralatannya.
5. Peningkatan pengendalian bahaya
erosi.
6. Peningkatan pendidikan masyarakat
pedesaan dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) di tiap
kecamatan.
7. Intensifikasi pemakaian tanah
kering, diawali pembangunan beberapa Kebun Percobaan Perusahaan Tanah Kering
(PPTK) di kabupaten.
Pada
periode ini, kabinet sering berganti dan aparatur pertanian masih
terkotak-kotak dalam beberapa aliran politik/partai, sehingga pendekatan dan
metode penyuluhan mirip sebelum perang. Masalah dan tantangan pertanian makin
luas dan kompleks, aparatur dan cara kerjanya belum sistematis dan
komprehensif. RKI dua tahap belum sepenuhnya jalan karena perlu menyelesaikan
masalah yang besar dan kompleks itu.
Tahun 1958 intensifikasi padi dimulai pada sentra yang luasnya ± 1.000 ha, petani diberi kredit natura (bibit dan pupuk) serta uang. Program itu disebut Padi Sentra, yang menyebarkan kegiatan intensifikasi padi ke sekelilingnya. Padi Sentra ini, dijadikan bagian dari Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah Kering (BMPT). BMPT gagal dan dihentikan tahun 1963, karena banyak penyelewengan, pengembalian kredit dalam bentuk padi dihitung dengan harga yang rendah dari harga pasar, dan kurangnya keahlian para manager dalam menyuluh, pelayanan dan pemasaran, serta sistem kredit kacau.
Tahun 1958 intensifikasi padi dimulai pada sentra yang luasnya ± 1.000 ha, petani diberi kredit natura (bibit dan pupuk) serta uang. Program itu disebut Padi Sentra, yang menyebarkan kegiatan intensifikasi padi ke sekelilingnya. Padi Sentra ini, dijadikan bagian dari Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah Kering (BMPT). BMPT gagal dan dihentikan tahun 1963, karena banyak penyelewengan, pengembalian kredit dalam bentuk padi dihitung dengan harga yang rendah dari harga pasar, dan kurangnya keahlian para manager dalam menyuluh, pelayanan dan pemasaran, serta sistem kredit kacau.
B. Periode Terpimpin (1959 - 1963)
Perasaan
tidak puas pada kabinet memuncak, sehingga terbitlah Dekrit Presiden untuk
kembali ke UUD 1945. Sejak itu mulailah periode terpimpin, demokrasi terpimpin
dan ekonomi terpimpin.
Penyuluhan mengalami banyak perubahan. Filsafat ”alon-alon asal kelakon” menjadi ”segalanya harus cepat dan tepat”. Kegiatan-kegiatan berdasarkan menggerakkan massa, pendekatan dan metoda penyuluhan harus sesuai. Kampanye besar-besaran menggantikan pendekatan perorangan. Sistem “tetesan minyak (olievlek-sijsteem)” diganti dengan “tumpahan air sehingga semua orang kebagian cipratannya”. Kesemuanya di bawah pimpinan tertentu, sesuai dengan prinsip ekonomi terpimpin.
RKI diganti dengan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) Tahap I, yang meluas dan menyeluruh. Pelaksanaannya tidak bisa rutin, tapi merupakan gerakan dinamis. Gerakan intensifikasi produksi padi Swa-Sembada Beras (SSB), berlangsung dari tingkat nasional sampai ke desa, dengan pimpinan Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) pada setiap tingkat operasi. Tahun 1970 KOGM meluas menjadi Gerakan Swa-Sembada Bahan Makanan (SSBM), tetapi tidak berhasil mencapai tujuannya. Efek negatif penyuluhan sistem ”komando”, adalah para petani menjauhi penyuluh. Kegagalan Sistem Terpimpin, ditambah dengan peristiwa G-30-S, menyebabkan tumbangnya Pemerintahan Soekarno dan timbulnya Orde Baru.
Penyuluhan mengalami banyak perubahan. Filsafat ”alon-alon asal kelakon” menjadi ”segalanya harus cepat dan tepat”. Kegiatan-kegiatan berdasarkan menggerakkan massa, pendekatan dan metoda penyuluhan harus sesuai. Kampanye besar-besaran menggantikan pendekatan perorangan. Sistem “tetesan minyak (olievlek-sijsteem)” diganti dengan “tumpahan air sehingga semua orang kebagian cipratannya”. Kesemuanya di bawah pimpinan tertentu, sesuai dengan prinsip ekonomi terpimpin.
RKI diganti dengan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) Tahap I, yang meluas dan menyeluruh. Pelaksanaannya tidak bisa rutin, tapi merupakan gerakan dinamis. Gerakan intensifikasi produksi padi Swa-Sembada Beras (SSB), berlangsung dari tingkat nasional sampai ke desa, dengan pimpinan Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) pada setiap tingkat operasi. Tahun 1970 KOGM meluas menjadi Gerakan Swa-Sembada Bahan Makanan (SSBM), tetapi tidak berhasil mencapai tujuannya. Efek negatif penyuluhan sistem ”komando”, adalah para petani menjauhi penyuluh. Kegagalan Sistem Terpimpin, ditambah dengan peristiwa G-30-S, menyebabkan tumbangnya Pemerintahan Soekarno dan timbulnya Orde Baru.
C. Periode Konsolidasi (1963 – 1974)
Di
akhir masa terpimpin, gerakan SSBM gagal. Timbul gagasan mengembalikan
penyuluhan kepada azas-azas semula, seperti kesukarelaan, otoaktivitas,
demokrasi, dll. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Departemen Pertanian dengan
berbagai pihak, seperti penyuluhan dijalankan oleh Jawatan Pertanian Rakyat,
Direktorat Pertanian Rakyat (Dirtara), Fakultas Pertanian, organisasi massa
tani, Tokoh pertanian, supaya memprogresifkan pendekatan dan membangun
organisasi penyuluhan di Indonesia yang berbentuk suatu piramida besar yang
dasarnya lebar dan luas, di tingkat desa.
1. Seiring usaha penyempurnaan
penyuluhan, Fakultas Pertanian UI (Institut Pertanian Bogor) bekerjasama dengan
Lembaga Koordinasi Pengabdian Masyarakat Departemen PTIP (Pendidikan Tinggi
Ilmu Pengetahuan) mengadakan pilot proyek penyuluhan yang efektif, guna
meningkatkan produksi padi (1963/1964) dengan penerapan Panca Usaha Lengkap di
Kabupaten Karawang. “Action Research” itu dipimpin Dr.Ir. Gunawan Satari
dengan asisten Ir. Achmad Affandi, Ir. Djatijanto, dan Ir. Sukmana. Petani
dibimbing intensif dan disediakan saprodi secukupnya. Hasilnya, produksi padi
meningkat dua kali lipat.
2. Demonstrasi Massal (DEMAS)
dilanjutkan pada MT 1964/1965, dan diperluas lagi MT 1965/1966. Proyek ini
diubah menjadi Bimbingan Massal AABM atau BIMAS SSBM dan akhirnya menjadi
sistem Bimas, yang mengalami perbaikan menjadi Bimas Berdikari, Bimas Biasa,
Bimas Baru, Bimas Gotong Royong, dan Bimas yang disempurnakan. Awal program
Bimas, Direktur Jenderal Pertanian dijabat Ir. Sadikin Soemintawikarta dan
kepala Dirtara Ir. Soegandhi Soerjo Amidharmo. Bimas meliputi masukan (input)
yang harus dilakukan, ditetapkan dengan Inpres No. 4/1973 tentang Unit Desa,
terdiri dari: (1) penyediaan kredit oleh BRI, (2) pelayanan penyuluhan oleh PPL
dinas pertanian, (3) sarana produksi yang murah dan mudah oleh penyalur, kios
dan KUD, serta (4) pengolahan dan pemasaran hasil oleh KUD, Kelompok Tani dan
swasta perorangan.
3. Bimas dimaksudkan untuk
mengembangkan program intensifikasi massal (INMAS). Petani yang telah menjalani
Bimas atas bantuan kredit dari Pemerintah pada akhirnya akan mampu berdiri
sendiri. Mereka diberi kesempatan membeli sarana produksi secara tunai.
4. Sistem Bimas dan Inmas didasarkan
pada usaha pembinaan petani dengan pendekatan Kelompoktani oleh Penyuluh
Lapangan yang berijazah SPMA, dibantu oleh penyuluh sukarela berasal dari
kalangan petani, yang dikenal dengan sebutan Kontaktani. Kontaktani dibina
secara perorangan dalam kegiatan anjangsana, kursus tani, demonstrasi
perseorangan (demplot) dan surat menyurat.
5. Usaha peningkatan produksi yang
menyeluruh dan meluas ini memerlukan metode massal, seperti penggunaan radio
(siaran pedesaan), pameran, penerbitan, pertunjukan film maupun kesenian
tradisionil (wayang, sandiwara, dagelan, dst). Kesemuanya masÃh secara adhoc
atau insidental, belum sistematis dan berkelanjutan.
6. Pada periode ini, terjadi perubahan
kemasyarakatan dan politik. Pola dan cara penyuluhan dalam menyongsong Era
pembangunan, diprogramkan oleh Orde Baru dalam program Pembangunan Lima Tahun
(PELITA) I. Bimas diartikan sebagai kegiatan penyuluhan massal, untuk
meningkatkan produksi pertanian dengan cara intensifikasi khusus padi/beras,
yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.
Bimas dibina bersama oleh intansi dan lembaga pemerintah di dalam dan di luar
Departemen Pertanian, menuju swadaya masyarakat tani sendiri dengan jalan Panca
Usaha, pembinaan, pengolahan dan pemasaran serta pembangunan masyarakat desa.
Bimas merupakan kegiatan penyuluhan pertanian yang bersifat: (1) Ada usaha
bersama dari berbagai instansi dan lembaga melakukan penyuluhan/bimbingan
menurut rencana yang disusun atas dasar musyawarah dan mufakat; (2) Ada
koordinasi dalam membuat rencana (waktu, tempat, cara dan biaya); (3) Ada bimbingan
melalui satu aparatur di pedesaan, yang merupakan pelaksanaan utama Bimas; dan
(4) Ada sifat massal dari bimbingan yang diberikan. Tujuan Bimas pada
hakekatnya sama dengan tujuan penyuluhan saat itu: (1) Menimbulkan perubahan
perilaku dan motif tindakan petani ke arah sasaran yang telah ditentukan, (2)
Menuntun, mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku petani dalam mencapai
taraf usaha dan kehidupan yang lebih baik, (3) Menimbulkan dan memelihara
semangat petani agar selalu giat memperbaiki segala usahanya, dan (4) Membantu
petani agar lebih berswadaya dalam memecahkan dan menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi. Sasaran Bimas adalah petani/kelompoktani, baik sebagai objek
maupun sebagai subjek. Sebagai objek, petani merupakan titik sasaran pelayanan,
sedangkan sebagai subjek petani merupakan pemimpin sekaligus pelaksana utama
dalam usahataninya. Bimas mengarahkan: (1) berusahatani yang lebih baik (better
farming); (2) berusahatani yang lebih menguntungkan (better bussiness);
(3) berkehidupan yang lebih layak (better living); dan (4) tata
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera (better community).
7. Pada Pelita I, penyuluhan harus
nyata menunjang pembangunan pertanian berprioritas tinggi mencapai swa-sembada
beras. Pola dasar tata penyelenggaraan penyuluhan harus diperkuat, meliputi
kelembagaan, aparatur dan fasilitas fisiknya. Pengaturan dan pelayanan
penyuluhan di lapangan disempurnakan, Keppres No. 95/1969 membentuk Badan
Pengendali Bimas yang diketuai Menteri Pertanian, dan Sekretaris BP Bimas, yang
sejajar dengan Dirjen lingkup Departemen Pertanian.
8. Dalam periode konsolidasi,
dasar-dasar metode Kelompoktani dan fondasi peranan kontaktani mulai
diletakkan. Sebagai klimaknya, tahun 1971 diselenggarakan PENAS (Pekan
Nasional) pertama di Cihea, Jawa Barat atas inisiatif Oyon Tachyan (KTNA Jawa
Barat), dan PENAS II tahun 1973 di Jember, Jawa Timur. Memantapkan
penyelenggaraan penyuluhan pertanian dengan merekrut 2001 orang PPL dan 113
orang PPS pada tahun 1971.
D. Periode Pemantapan I (1974-1983)
1. Keppres No.44 dan 45/1974 membentuk
Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian (Badan Diklatluh), yang
berwenang mengatur pendidikan, latihan dan penyuluhan di tingkat nasional. Di
daerah dilakukan oleh berbagai dinas yang ada sesuai dengan UU No. 5/1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
2. SK Mentan No. 664/1975 membentuk
Forum Koordinasi Penyuluhan Pertanian di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Peraturan ini merupakan landasan menggalang
kerjasama yang erat dalam penyuluhan, yang akan meningkat kepada terpadunya
penyuluhan.
3. Mulai tahun 1976 diterapkan sistem
kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU). Penyuluh sejak 1979 ditata menurut sistem
Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL) di tingkat Wilayah Unit Desa (wilud
600-1.000 ha sawah atau setaranya), dan dibina oleh Penyuluh Pertanian Madya
(PPM, yang berubah menjadi Penyuluh Pertanian Urusan Program/PPUP). PPM/PPUP
berkedudukan di BPP (pengembangan dari Balai Pendidikan Masyarakat Desa/BPMD
tahun 1948). BPP menjadi basis kegiatan penyuluhan. PPL mendapat pembinaan
teknis dari Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) kabupaten, dan provinsi.
Kegiatan latihan bagi PPL oleh PPM/PPUP dan PPS di BPP satu kali dalam 2 minggu
untuk menambah pengetahuan dan keterampilan teknik pertanian sesuai dengan
kalender produksi pertanian setempat. Latihan dasar bagi PPL, PPM/PPUP dan PPS,
berbagai subjek dan komoditi, diatur oleh Balai Latihan Pegawai Pertanian
(BLPP) dengan bantuan dinas dan lembaga pendidikan tinggi serta peneliti
setempat. Bahan-bahan penyuluhan berupa terbitan, film dan kaset untuk siaran
pedesaan lewat radio, merupakan perlengkapan para penyuluh, disediakan oleh
Balai Informasi Pertanian (BIP), di wilayah bersangkutan.
4. PPL dan PPM/PPUP pada umumnya
berasal dari Sekolah Pertanian Menengah Atas Negeri, daerah dan swasta.
Unit-unit pelaksana teknis berupa SPMA, BLPP dan BIP, dikelola Badan Diklatluh
Pertanian, dibawah pengawasan Kepala Kanwil Deptan yang bersangkutan. Pelayanan
kebijaksanaan, diberikan kepada swasta dan masyarakat tani sendiri. Penyediaan
dan penyaluran sarana produksi seperti pupuk, pestisida, alat-alat pertanian,
benih dan bibit, diusahakan oleh perusahaan swasta, BUMN, KUD, Kelompok tani
sendiri.
5. Sejalan dengan pelaksanaan Bimas
Nasional Disempurnakan (BND) tahun 1970, aparatur dan metode penyuluhan
diperkuat sesuai kebutuhan Gerakan Massal Bimas. Dicetuskan empat kategori
demonstrasi: (1) demplot dilakukan perorangan; (2) demfarm dilakukan kelompok
primer; (3) dem area dilakukan gabungan kelompok; dan (4) dem-unit dilakukan
KUD.
6. Pada sistem LAKU, pengertian
kelompok dibakukan sebagai Kelompoktani Hamparan, yang mempunyai kawasan
wilayah kelompok (Wilkel) yang merupakan satu unit kunjungan PPL.
7. Uji coba dem-area di kabupaten
Karawang MT 1975/76 dan MT 76 menunjukkan hasil yang menggembirakan (50-75%
penerapan teknologi terujud). Atas hasil tersebut tahun 1979 dimulailah INSUS
(Intensifikasi Khusus) dan dilanjutkan dengan OPSUS (Operasi Khusus) pada
daerah terkebelakang intensifikasinya, OPSUS Tekad Makmur (1980) di Provinsi
NTB dan Opsus Lapo Ase di Sulawesi Selatan (1981) dan seterusnya di lain
daerah.
8. Tahun 1980, formasi penyuluhan
diperbesar menjadi 20.626 orang (PPL/PPUP 19513 orang, PPS 1.113 orang).
9. Sistem LAKU tahun 1976 dilaksanakan
di 9 provinsi, tahun 1977 diperluas ke 14 provinsi dan tahun 1980 ke seluruh
Indonesia untuk seluruh subsektor pertanian.
10. Penas III dilaksanakan di Bali tahun
1980 dan Penas IV di Kalimantan Selatan tahun 1981. Pada rembug KTNA di Bali
disepakati peningkatan metode penyuluhan berupa Mimbar Sarasehan, Temu Wicara
dan Temu Karya.
11. Tahun 1980, Badan Diklatluh
Pertanian meningkatkan kesejahteraan penduduk/Kelompok Petani Nelayan Kecil
(KPK) yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pendekatan partisipatif
melalui Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K) di 8
provinsi.
12. Kelompoktani peserta Insus
dirangsang meningkatkan intensifikasi padi dengan perlombaan. Kelompoktani
pemenang diundang ke Istana Negara Jakarta, menerima hadiah dari Presiden RI.
E. Periode Pemantapan II (1983-1993)
1. Keppres No.24/1983, membentuk
Direktorat Penyuluhan pada semua Direktorat Jenderal lingkup pertanian dan
Pusat Penyuluhan pada Badan Diklatluh. Di Dinas tingkat I dan II/cabang Dinas
pertanian, dibentuk subdinas dan seksi penyuluhan.
2. Pada 1993, Penyuluh ditingkatkan
jumlahnya menjadi 39.108 orang (PPL/PPUP 36.830 orang dan PPS 2.278 orang).
3. Pemantapan penyuluhan dengan adanya
kesatuan aparat penyuluhan dan kesatuan pengertian penyuluhan.
4. Pada MT 1987 dikembangkan pola Supra
Insus. Keberhasilan Supra Insus terletak pada kerjasama antar Kelompoktani
dalam intensifikasi di satu WKPP, menerapkan pola tanam yang menjamin
terwujudnya keserempakan panen dan keragaan varietas dalam hamparan areal
usahatani se WKPP atau sekurang-kurangnya sehamparan irigasi tersier. Kerjasama
antara Kelompoktani di bawah pimpinan Kontaktani se WKPP merupakan unit
terkecil dari Supra Insus yang disebut Unit Hamparan Supra Insus (UHSI).
5. Sesuai perkembangan zaman, metode
massal relatif berkurang dan lebih banyak penerapan metode kelompok dan
perorangan. Berkembangnya tingkat pengetahuan petani-nelayan, maka pendekatan
partisipatif lebih menarik. Mimbar Sarasehan, Temu Usaha, Temu Karya, Temu
Wicara dan Penas, menerapkan berbagai metode penyuluhan. Penas V
diselenggarakan di desa Purbolinggo Lampung Tengah tahun 1983, Penas VI di desa
Pematang Krasan Simalungun Sumatera Utara, tahun 1986 dihadiri 2.500 orang
peserta dari 27 provinsi dengan 20 jenis kegiatan.
6. Bimas yang didukung penyuluhan
membawa Indonesia sukses mencapai swasembada beras tahun 1984 yang diakui FAO.
Pada Hari Ulang Tahun FAO ke-40 tanggal 14 Nopember 1985, Presiden Suharto
diundang oleh Direktur Jenderal FAO dan menyampaikan pidatonya di depan Sidang
FAO di Roma. Acara tersebut dihadiri oleh 32 orang KTNA Indonesia. Pada
kesempatan itu, masyarakat pertanian Indonesia secara simbolis menyerahkan
sumbangan 100.150 ton gabah kering giling (senilai Rp.15,6 milyar) kepada
penduduk Afrika yang menderita kelaparan melalui Dirjen FAO.Atas jasa mencapai
swasembada beras, Direktur Jendral FAO memberi penghargaan medali emas kepada
Presiden Suharto, yang bertuliskan PRESIDEN SUHARTO – INDONESIA dan FROM
RICE IMPORTED TO SELF SUFFICIENCY – FAO-ROME.
7. Tahun 1986 ditetapkan jabatan
fungsional penyuluh. Sejak itu dimulailah penerapan sistem angka kredit untuk
peningkatan jenjang karir penyuluh. Kualifikasi tenaga penyuluh ditingkatkan,
Penyuluh yang SLTA (SPMA, SNAKMA, SUPM/SPP) ditingkatkan pendidikannya melalui
Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) mulai tahun 1987 dan Pendidikan Tinggi
Pertanian Lapangan/PTPL (pendidikan jarak jauh, kerjasama Departemen Pertanian
dengan Universitas Terbuka/UT) mulai tahun 1991. Penyuluh S1, secara bertahap
dan terbatas ditingkatkan menjadi S2 atau S3, baik di dalam maupun luar negeri.
8. Kemampuan dan peran Kelompoktani dan
kontaktani makin meningkat, bermutu dan mandiri. Peran tersebut terlihat dengan
semakin banyaknya Kontaktani menjadi induk semang dalam pemagangan. Bahkan
mereka sudah mampu membentuk Pusat Pelatihan Pertanian & Pedesaan Swadaya
(P4S). Petani Indonesia menerima petani magang dari Afrika/GNB.
9. Pengurus KUD meningkat jumlahnya
yang berasal dari Kontaktani. Pada waktu itu, kontaktani telah melakukan Studi
Banding ke luar negeri, antara lain ke Thailand, terutama bidang hortikultura.
10. Sejak tahun 1990, jumlah dan mutu
kegiatan di Penas makin ditingkatkan. Penas diselenggarakan 4 kali dalam
periode Pemantapan II. Penas V di Lampung tahun 1983 Penas VI di Sumatera Utara
tahun 1986, Penas VII di Sulawesi Selatan tahun 1988 dan Penas VIII di Magelang
tahun 1991.
11. Diklat bagi petani-nelayan
disempurnakan dengan metode Andragogi, Sekolah Lapang Usahatani Berorientasi
Agribisnis (SL-UBA).
12. Pelatihan teknis bagi penyuluh
digunakan pola SL terpadu, terdiri dari kegiatan diklat PL-1 (Pemandu
Lapang-1), diklat PL-II dan diklat P-N (Petani-Nelayan). Materi pokok
(substansi) diklat diambil dari permasalahan teknis ekonomi yang dihadapi
petani-nelayan. Diklat SL dilaksanakan untuk mendukung program nasional
pembangunan pertanian yang menerapkan teknologi khusus (PHT, agribisnis) dan
harus disebarluaskan karena mempunyai dampak luas terhadap keberhasilan
program. Dalam menunjang program pengembangan agribisnis, teknologi yang
disebar luaskan melalui SL adalah teknologi ekonomi (menerapkan kaidah-kaidah
bisnis dalam berusahatani). Teknologi ini harus dikuasai melalui PL-I, PL-II
dan P-N
13. Untuk menyiapkan generasi muda
pertanian, dijalin hubungan antara taruna tani dan siswa SPP melalui kegiatan
Temu Siswa dan Taruna Tani Nasional (TESISTANAS) dan dibentuknya Kelompok Siswa
dan Taruna Tani (KOSISTA).
14. Upaya percepatan alih teknologi
dilakukan melalui kerjasama antara Badan Diklat Pertanian dan Badan Litbang
Pertanian dalam bentuk Temu Aplikasi Teknologi dan Gelar Teknologi.
15. Melalui SK Mentan Nomor:
789/Kpts/OT.210/1294, fungsi BIP ditingkatkan dan diubah menjadi Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Tugas BPTP adalah melaksanakan kegiatan
penelitian komoditas, pengujian dan perakitan teknologi tepat guna spesifik
lokasi, menyampaikan paket teknologi hasil pengkajian dan perakitan untuk bahan
penyusunan materi penyuluhan pertanian, pelayanan teknik kegiatan penelitian,
pengkajian, dan perakitan teknologi pertanian, Pelaksanaan tata usaha dan rumah
tangga Balai.
16. Untuk memperkuat otonomi daerah
tingkat II, sejak tahun 1993 penyuluh non sarjana dan BPP diserahkan/
diperbantukan kepada daerah tingkat II, beserta anggarannya. Pengelolaan
administrasi dan operasionalnya dikelola dinas subsektor (Tanaman Pangan,
Perkebunan, Peternakan dan Perikanan). Penyuluh berpendidikan sarjana tetap
sebagai pegawai pusat yang dipekerjakan di wilayah, administrasinya dikelola
oleh Kanwil Deptan.
17. Tahun 1989, sistem LAKU dievaluasi
oleh Pusat Pengembangan Agribisnis/ PPA dan proyek NAEP III. Hasil evaluasi
menunjukkan, LAKU tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena kebudayaan.
Sebanyak 300 kelompok etnis dengan 200 dialek dan tinggal di 13.667 pulau,
menuntut ketangguhan cara kerja penyuluhan. Disarankan modifikasi LAKU,
terutama pada pengembangan sumberdaya manusia pelaku utama beserta keluarganya.
Titik berat diubah dari komoditi ke komunitas (masyarakat) sebagai pemeran
utama pembangunan pertanian. Poktan dibentuk berdasarkan keserasian anggota dan
jangkauan nyata untuk menghadiri pertemuan kelompok. Penerapan sensus masalah
pada pertemuan Poktan memungkinkan ditetapkan daftar masalah dan peringkatnya
oleh pelaku utama sendiri.
18. Modifikasi sistem LAKU dengan metode
sensus masalah, dapat membawa penyuluhan pertanian kepada pendekatan yang
menyeluruh (holistik). Kerjasama itu diperlukan untuk melayani semua aspek
pembangunan pedesaan yang efektif, pertanian, industri kecil, kesehatan,
pendidikan, perkoperasian dan seterusnya.
19. Keppres no.4/1990, Badan Diklatluh
Pertanian diubah menjadi Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Pertanian, Pusat
Penyuluhan Pertanian diubah menjadi Pusat Pendidikan dan Latihan Penyuluhan
Pertanian (Pusdiklatluhtan).
20. SK Mentan No. 58/Kpts/LP.120/2/91,
mengubah koordinasi penyuluhan. Di tingkat provinsi dipegang oleh Kepala Kanwil
Deptan, di Kabupaten/Kotamadya oleh Kepala Dinas Lingkup Pertanian/Ketua
Pelaksana Harian Bimas. Koordinasi di tingkat BPP dan desa tidak diatur.
Kedudukan dan tugas BPP tidak lagi sebagai unit pelaksana penyuluhan, melainkan
hanya sebagai instalasi penyuluhan.
21. Keppres No. 83/1993, menghapus
Direktorat Penyuluhan pada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan &
Holtikultura, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan.
22. SK Mentan No. 96/Kpts/OT.210/2/1994,
membentuk Pusat Penyuluhan Pertanian (Pusluhtan), yang bertanggung jawab pada
Menteri Pertanian. Secara administratif dibina oleh Sekjen dan secara teknis
dibina oleh Dirjen sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
F. Periode Agribisnis-Agroindustri (1993-1997)
Kebijakan Menteri Pertanian pada
awal kebangkitan nasional II (PJP II), memantapkan penyelenggaraan penyuluhan
di Indonesia. Dalam PELITA VI, penyelenggaraan penyuluhan menghadapi berbagai
tantangan berupa lingkungan sosial ekonomi nasional maupun global yang dinamis,
Antara Lain
1. Orientasi pembangunan pertanian ke
arah penerapan pendekatan agribisnis.
2. Peningkatan peranan dan peran-serta
masyarakat, dalam hal ini petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya.
3. Pelaksanaan desentralisasi mengarah
kepada pelaksanaan otonomi daerah tingkat II yang lebih luas dan lebih
bertanggung jawab. Perubahan kebijakan dari petani-nelayan yang hanya terampil
berproduksi menjadi kebijakan yang dapat menciptakan iklim motivasi petani-nelayan
untuk lebih rasional dan efisien dalam mengembangkan usaha berdasarkan
kemampuan wilayah, informasi dan mengenali potensi pasar.
Pada PELITA VI, penyelenggaraan penyuluhan diarahkan :
1. Memberi dorongan bagi berkembangnya
kelembagaan tani-nelayan ke arah terciptanya sistem pengguna aktif dari
informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang muncul sebagai akibat perubahan
lingkungan sosial ekonomi yang dinamis. Pengambilan keputusan oleh
petani-nelayan secara mandiri melalui perencanaan wilayah yang partisipatif
perlu dikembangkan secara bertahap. Para petani dan nelayan diarahkan untuk
mampu mengambil manfaat sebesar-besarnya dari keberadaan BPP melalui kunjungan
para petani dan nelayan secara berkala ke BPP.
2. Memperkuat BPP dengan personil, sarana,
prasarana dan pembiayaan yang memadai dalam menghadapi arah perkembangan
perilaku petani/nelayan sebagai sistem pengguna aktif berbagai informasi dan
kesempatan berusaha. BPP diarahkan menjadi pusat pengelolaan penyuluhan di
pedesaan yang mampu melayani seluruh kepentingan pendidikan non formal bagi
petani-nelayan beserta keluarganya & masyarakat pedesaan pada umumnya.
3. Membangun dan mengembangkan jaringan
kelembagaan penyuluh yang mampu mendukung pengembangan kelembagaan
petani-nelayan serta mampu menciptakan iklim kepemimpinan demokratis dalam
mengembangkan agribisnis. Perangkat terdepannya adalah BPP, yang berfungsi
menyalurkan berbagai informasi teknologi produksi, dan membuka berbagai
kesempatan berusaha di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Arah itu
perlu ditempuh, mengingat perilaku usahawan sangat menentukan dalam mencapai
keberhasilan pengembangan agri bisnis. Keberhasilan mengkaitkan sistem produksi
pertanian pada mata rantai agribisnis sangat ditentukan oleh keberhasilan
upaya-upaya memberikan motivasi kepada poktan untuk berkembang menjadi
kelompok-kelompok usaha atau asosiasi sesuatu komoditas dan kombinasi komoditas
pertanian. Perkembangan ini hanya dimungkinkan oleh adanya kesempatan berusaha
yang lebih luas yang dapat diciptakan melalui pembangunan jaringan kelembagaan
penyuluhan yang berkarakter profesional.
4. Mengorientasikan para petugas
lingkup pertanian (penyuluh dan aparat pembinanya) agar memiliki satu kesatuan
tindak dalam penyelenggaraan penyuluhan. Para penyuluh dikembangkan
kemampuannya sesuai dengan perubahan orientasi penyuluhan terutama menyangkut
kemampuan bekerjasama dengan petani dan peneliti dalam merancang pengembangan
wilayah kerja. Penyuluh, petani dan peneliti hendaknya menjalin kerjasama dalam
mengidentifikasi kemampuan wilayah serta kemampuan sosial ekonomi petani dan
nelayan sehingga dapat diciptakan suasana pengambilan keputusan pengembangan
usaha petani-nelayan secara partisipatif atas dasar efisiensi usaha dan
informasi pasar. Penyuluh yang sehari-harinya berintegrasi dengan para petani
dan nelayan hendaknya berpangkal kerja di BPP
5. Penyelenggaraan penyuluhan
diletakkan pada Daerah Tingkat II dengan materi yang sesuai dengan mandat,
misi, tujuan penyuluhan, dan kondisi/potensi riil daerah serta berkaitan dengan
berbagai program prioritas pembangunan pertanian.
6. Penyuluhan di tingkat provinsi
maupun nasional, diarahkan untuk mampu mendukung penyelenggaraan dan
pelaksanaan kegiatan penyuluhan di kab./kota dan BPP. Dukungan ini terutama
dalam bentuk penciptaan iklim berupa kebijaksanaan, pedoman yang didasarkan
atas monitoring, evaluasi, studi dan menghubungkan wilayah otonomi Dati II
dengan kesempatan usaha yang tersedia di tingkat provinsi, nasional dan
internasional.
7. Pendekatan dan metode penyuluhan
disesuaikan dengan perkembangan atau tingkat kemajuan sosial ekonomi wilayah
dan tujuan yang hendak dicapai dalam wilayah bersangkutan. Pendekatan ”partisipatory
and cost sharing” dalam penyelenggaraan penyuluhan cocok diterapkan guna
mengembangkan peran-serta dan kemandirian petani/nelayan dalam pembangunan
pertanian. Mengingat keragaman kondisi sosial ekonomi petani nelayan,
pendekatan lainnya dapat digunakan dalam penyelenggaraan penyuluhan.
8. Mekanisme dan tata hubungan kerja
penyuluhan didasarkan atas prinsip keterlibatan semua unsur penyuluhan, sebagai
suatu jaringan kelembagaan. Fungsinya sebagai penyalur informasi (pasar, harga,
kualitas, standar, teknologi, ilmu pengetahuan, kredit, perbankan, kesempatan
usaha) dan mendukung interaksi petani-nelayan dengan penyuluh dan peneliti.
Mekanisme dan tata hubungan kerja petugas pemerintah yang terkait dengan
penyuluh juga melibatkan sektor ekonomi swasta, BUMN dan lembaga sosial/ekonomi
pedesaan lainnya. Pengembangan jaringan kelembagaan penyuluhan yang utuh
bertujuan untuk melayani kepentingan petani, pemerintah dan sektor ekonomi
swasta/BUMN, maupun nasional.
9. Untuk memberikan dukungan nyata pada
penyelenggaraan penyuluhan, tahun 1994 dibentuk lembaga pengkajian teknologi
pertanian di tiap provinsi. Pada April 1995, unit kerja itu mulai dioperasikan
dengan status organisasi BPTP, LPTP dan IPPTP.
BAB
III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
penyuluhan pertanian
adalah upaya pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku
agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal dibidang pertanian ,agar
mampu menolong dirinya sendiri baik dibidang ekonomi, social maupun politik,
sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat
dicapai.Pengertian penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu social yang
mempelajari system dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar
dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan.
Sejarah pemyuluhan
1.
Penyuluhan pada Zaman Belanda (1905-1942)
2. Penyuluhan
pada Zaman Jepang (1942–1945)
3.
Penyuluhan pada Zaman Kemerdekaan (1945–1995)
3.2
Saran
Semoga mahasiswa dapat memamahami pentungnya penyuluhan
pertanian untuk perkembangan sektor pertanian di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA