PERTEMUAN
PERTAMA
Apakah itu Dia ? Tubuhnya dibalut kemeja
biru murahan dipadu jeans hitam.
Norak!! Tingginya berkisar 170 cm denfan badan kurang berisi, menyender pada
salah satu sisi gedung di pelataran Pasar Baru Mamuju (PBM).
Jarak 15m, membuat aku leluasa menilik
raut mukanya. Wajahnya bulat, hidungnya tidak terlalu mancung. Ditambah dengan
rambut yang acak-acakan serta kulit yang putih tidak mampu mengkatrol
penampilannya. Ah… Farel, ternya kamu biasa-biasa saja! Jauh dari cowak idola.
Kutinggalkan dia dengan segera, tenpa
sedikitpun rasa bersalah. Terik matagari seaakan-akan menyengat. Akhir-akhir
ini mamuju memang sangat panas sekali. Ku percepat langkah kakiku menuju tempat
parker. Ku pacu “spin”ku. Jarum pada speedometer menunjuk angka 90. Bukan tanpa
alasal kalau gas sepeda motorku kutambah. Aku takut Farel memergokiku. T-shirt biru dan jins hitam melekat di tubuhku, cukup umtuk membuat Farel
mengenaliku.
Kusimpan motorku dihalaman depan. Ku
jejaki kerikil di halaman rumahku. Ku terobos pintu rumah, tak ada siapa-siapa
di rumah. Sepi. Mama dan Papa masih dikantor. Hanya Bi Ati yang menyambut
kedatanganku.
“Neng kok cemberut, ada apa?” Tanya Bi
Ati.
“Alaaah…, jangan urusin muka orang lain.
Lagian bukan urusan Bibi jugakan?” sergaku kesal.
Kulirik Bi Ati yang tunduk, kedua
tangannya di satukan disimpan di atas dadanya. Kenapa mesti aku tumpahkan
kekesalanku ini pada orang sebaik Bi Ati. Aku tiba-tiba menyesal.
Kutuang sirup dan air es kedalam gelas.
Kuaduk. Kuminum hanya dengan satu kali teguk. Rasa segar menjalari
kerongkongan. Kulirik jam besar di ruang makan, pukul dua. Barang kali satu dua
jam dapat menghilangkan kekesalanku dengan sejenak beristirahat.
Belum Aku melayang-layang ke alam mimpi,
pintu kamarju ada yang mengetuk.
“Neng, ada temannya,” Suara Bi Ati
hati-hati.
“Siapa Bi?” Tanyaku sedikit berteriak.
“Tidak tahu Neng,” jawab Bi Ati.
Siapa yang datang siang-siang kayak gini
? Ganggu orang tidur aja! Meski begitu, segera Kurapikan penampilanku. Kusisir
rambutku, kurapiakan T-shirt biruku.
Kulihat seorang pemuda duduk tertunduk.
Wajahnya ditekuk dalam-dalam di ruang tamu. Kemeja biru dan jeans hitam yang dikenakannya
mengingatkanku dengan pemuda yang membuatku terpongoh-pongoh meninggalkan PBM.
Farelkah ia? Kalau ya, nekat betul Dia.
Langkahku sempat berhenti. Bimbang.
Kutemui atau tidak? Kalau kutemui, pasti akan menambah rasa kecewa dan kesal
yang telah menumpuk dalam hati. Kalau tidak kasihan Dia datang jauh-jauh dari
Polewali hanya untuk menemuiku. Lagian, mana tanggung jawabku dengan janji yang
telah diikrarkan.
Akhirnya kumantapkan langkahku. Aku
harus segera mengenalkan diri, akulah sahabat facebook yang ia cari.
“ Hai…!!! ” sapaku serama mungkin walau
agak dipaksakan. Sapaanku mengagetkan Farel yang lagi asyik ngelamun.
“ eyi ya? “ balasnya yakin banget.
“ kamu pasti Farel “, ujarku yang tak
kalah optimisnya, sambil kutebarkan senyum ala kadarnya. Kami bersalaman. Dalam
hati aku berjanji ini pertemuan pertama sekaligus pertemuan terakhir. Dandanan
Farel yang kampungan, tongkrongannya yang gak level menjadi satu-satunya alasan
agar aku tidak mengenal dirinya lagi. Tangan Farel begitu dingin seperti tidak
dialiri darah. Dia pasti grogi atau
minder, setelah tahu kalau sahabat facebooknya mirip cover girl.
Memang wajahku lumayan. Semua orang
mengaku itu. Bahkan di SMA-ku, aku termasuk gadis top. Banyak cowok yang antree
mengatakan cintanya. Tapi aku tidak peduli, aku simpan cintaku untuk Farel,
sahabat facebook-ku. Aku berjanji bahwa nyanyian cintaku hanya untuk
didengarkan Farel. Memang aneh, belum tahu sosok asli Farel, begitu berani aku
menegaskan bahwa Farel sebagai cowokku. Padahal Farel tidak pernah mengusik
cinta didinding atau distatusnya. Nadanya jauh dari romantic. Hanya penawaran
persahabatan. Aku saja yang kelewat berharap.
Ketertarikanku terhadap Farel kusimpan
sendiri, tak pernah kuceritakan kepada siapapun. Tidak pada Wati sahabatku.
Tidak juga pada penghuni rumah. Dari status-statusnya, aku berani taruhan,
Farel orangnya supel, kece, wawasannya luas sehingga layak jadi cowokku.
Farel kubayangkan bertubuh atletis dan
cukup menyenangkan. Dengan mimpi dan angan yang kurangkai sendiri Farel
memenuhi criteria cowokku.
Tapi, ternyata mimpi dan anganku
porak-poranda tatkalah sosok Farel menjelma. Sekarang di hadapan mataku hadir
sosok tubuh yang jauh dari gambaranku selama ini. Farel lebih sederhana
dibandingkan dengan Agus, Arfan, Ilham, Satria, ataupun Acong yang sudah
terang-terangan menaksirku. Farel tak lebih dan tak kurang dari Rahmat, teman
sekelasku yang dijuluki pemuda gunung oleh teman-temanku, termaksud Aku.
Wajahnya begitu deso dan lugu.
“Eyi…??? Sapaan Farel menyadarkanku dari
lamunan. Kupandangi Farel dengan tatapan yang tidak ramah. Biar Dia tahu aku
kurang begitu suka dengan kehadirannya di rumahku, terlebih jika Dia mengangap
aku sebagai sahabatnya. Pancaran dinar mata Farel yang tajam, sejenak
memunculkan keterkejutanku. Tatapannya seakan menembus ulu hati. Menghukam
jiwa. Huh….!!! Beraninya Dia menatapku sedemikian rupa. Kutatap Dia, tapi… ah
sepasang mata itu. Farel aku jadi takut dengan sorot matamu.
“Eyi, Aku tahu, kamu pasti kecewa dengan
pertemuan ini. Selama ini kamu pasti membayangkan Aku cowok bertubuh atletism,
kaya, yang pantas jadi cowokmu. Tapi bayanganmu meleset, Aku tak lebih dari
cowok kampung, anak gunung.” Ujar Farel. Loh dari mana Dia taju isi kepalaku???
“Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan.
Aku bias meneropong jiwamu. Kamu gelisa dan kecewa melihat keaadaanku, yang t rnyata
jauh dari pikiranmu.” Farel berujar dengan dingin dan suara itu berasal dari
jauh. Seperti suara yang berasal dari negeri antah berantah. Padahal Farel
tepat di hadapanku. Dan lebih mengherankan, Farel begitu pandai membaca
benakku. Belum sempat Aku bicara, Farel sudah mulai mengutarakan unek-uneknya.
“Eyi, Aku datang dari jauh, hanya untuk
memenuhi janjiku. Tulisan pesan terakhirmu meminta kita bertemu langsung, dan
Aku menyanggupinya. Seperti yang Kau tulis, hari ini jam satu siang di PBM,
tepatnya di depan deretan toko, kita harus bertemu. Mulanya Aku ragu, akankah
kedatanganku Kau sambut hangat, seperti halny pesan dindingku yang selalu Kau
sayangi.” Suara Farel mendingin dan sayup-sayup, tapi tak ayal menembak
jantungku.
Mulutku terkunci. Kembali keheranan
menyapaku, dari mana Dia tahu kalau pesan dindingnya selalu Aku banggakan.
“kepenasaranku yang sebesar gunung untuk
segera bertemu, dan atas kesepakatan yang telah Aku buat, aku korbankan jam
sekolahku. Hari ini Aku bolos. Dengan bis tadi pagi, kutinggalkan Polewali.
Kutinggaklan teman- temanku. Kutinggaklan keluargaku. Aku datang ke Mamuju
memenuhi janjiku. Tepat jam setengah satu, Aku berdiri di tempat yang telah Kau
isyaratkan. Aku tahu jam setengah satu siang tadi adalah waktu yang telah kita
sepakati. Sengaka senelum waktumya Aku menunggumu, karena Aku takut Kau telah menungguku.
Aku takut telat. Akub takut mengecewakan sahabatku.” Ujarnya.
“Pukul satu mewat seperempat, Kamu
datang. Baju kita sama, biru hitam. Itu aturan yang Kau tawarkan agar kita
saling mudah untuk saling mengenali. Aku gemnira sekali dengan kehadiranmu.
Tapi, Aku sedih. Ketika kita bertatapan, Kau mulai menyimak seluruh tubuhku,
dari ubun-ubunku hingga keujung kakiku. Setelah tidak ada yang menarik dari
penampilanku menurut ukuran Kamu, cepat sekali kamu menghilang meninggalkanku,
dan pergi meninggalkanku dengan seribu langkah.” Lanjutmya.
Bibirnya yang gemetar, matnya yang sayu
tapi dalam, nada suaranya yang datar dan dingin, telah membuat Aku terpojok dan
merasa malu yang angat sangat. Saat ini Aku bukan lagi burung Beo yang pandai
berkicau, Aku tak lebih dari burung hantu yang mabuk.
Tetapi rasa aneh lebih mendominasi
otakku. Tadi siang Aku yakin sekali tidak bertatap mata seperti yang Farel
ucapkan barusan. Aku yakin tadi siang Farel asik melihat kendaraan yang
mondar-mandir di emperan toko. Kejerananku memunculkan praduga, jangan-jangan
Farel seorang paranormal yang pandai membaca pikiran orang lain. Kucoba
menengadah melihat mukanya. Tatapan matanya yang tajam membuat Aku tersudut.
Bola mata Farel seakan mencolok bola mataku.
“Eyi, Aku mengakui bahwa wajah tampan
dan penampilan yang ngetrend cukup besar peranannya ketika jumpa pertama kali.
Kita memang tidak bias berpura-pura untuk tidak perduli dengan wajah yang
menarik. Namun, jangan terpalu pada hal yang menarik satu ini. Sebab kecantikan
atau ketampanan bias menjerumuskan kita pada suatu persahabatan yang terlalu
dipaksakan. Gara-gara wajahku jelek, Kamu tidak mau meneruskan persahabatan
denganku. Kamu menilai suatu persahabatan dengan menimbang kadar baik dan buruk
hanya dari penampilan luarnya saja. Meski Kamu tidak tau warna jiwaku, tapi ternyata Kamu sudah kekberikan ultimatum, Aku tak
pantas menjadi sahabatmu”, kata-kata Farel begitu menunjok jantungku.
Piawai sekali Farel merangkai kata-kata
bijak dalam suatu pemikiran yang dalam. Bukan kata-kata biasa yang muncul dari
mulut seusiaku, juga seusia Farel. Farel begitu dewasa pemikirannya.
Aku tak mampu menatap wajahnya, bahkan
untuk mengangkat kepalakupun Aku tak sanggup. Serasa ribuan ton besi menempel
di atas kepalaku. Berat. Lalu kudengar Ia mendesah.
“Hanya itu kata-kata terakhir yang Aku
sampaikan. Aku cukup tau diri untuk tidak menjadi sahabatmu lagi. Aku pulang
sekarang”, tandas Farel.
Byurrr…!!! Seakan seember air sejuk
mengguyur tubuhku. Kepulangan Farel membebaskanku dari dari segala beban yang
menghimpit. Aku terhindar sari nada-nada sumbang, sinis dan dingin. Aku
terlepas dari sorot matanya yang tajam, tapi seakan ada kekodongan yang
mendalam pada lubuk jiwanya.
Kepergian Farel membuatku banyak
merenungi kata-katanya. Benar adanya semua cemoohan itu. Aku sering kali
mengukur nilai persahabaatan dari penampilan luarnya saja.
Hanya mengandalkan sosok luar, Aku
begitu tegamenyia-nyiakan kedatngan Farel. Padahal, Farel punya kelebihan,
wawasan berpijirnya luas. Farel maafkan Aku! Nanti malam akan kutulis pesan
untukmu. Terimah kasih atas atas segala cercaanmu dan akan kusimpan dalam-dalam
di benak kepedulianku. Akan kujadikan pelajaran hidup. Akan kuundang Kamu pada
pertemuan kedua. Terasa hati begitu terang.
***
Pagi ini Aku siap-siap pergi kesekolah.
Kulirik jam yang melingkar di tangan
kiriku. Pukul 06.10. Cukup sepuluh menit untuk mellihat berita pagi di TV.
Kuperbaiki dudukku di sofa sambil menatap ke layar kaca sambil menampilkan berita kecelakaan : korban tabrak lari.
“…. seorang penuda, di ketahui bernama
Farel Setianugraha, umur 18 tahun warga
Polewali lenjadi korban tabrak lari, Ia tewas seketika kemarin siang sekitar
pukul satu siang di depan PBM. Tubuhnya nyaris hancur di tabrak sebuah mobil
truk…”
Tak Aku selesaikan berita itu. Farel kah
orang itu? Pukul satu Ia tertabrak dan tewas seketika. Padahal beberapa menit
kemudian Ia hadir di sini. Jadi yang datang ke rumah adalah … bulu kudukku
berdiri dan Aku merasa ketakutan yaagn amat sangat. Pandanganku kabur lalu
tiba-tiba semuanya gelap…gelap…dan gelap!!